Mengenal Penyair Legendaris Indonesia "Taufiq Ismail"
Tokoh Sastrawan Indonesia Angkatan 66
Latar Belakang
Taufiq Ismail adalah seorang penyair Indonesia dengan gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan. Taufiq Ismail adalah putra dari pasangan A. Gaffar Ismail asal Banuhampu, Agam, dan ibunya bernama Sitti Nur Muhammad Nur yang berasal dari Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Taufiq Ismail mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) di Solo dan menyelesaikannya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta pada 1948. Setelah itu, melanjutkan sekolahnya di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Bukittinggi dan lulus pada 1952. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bogor, Jawa Barat, di SMA Negeri Pekalongan tahun 1956.
Taufiq Ismail juga sempat mengikuti pertukaran pelajar di White First Bay High School, Milwakee, Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1957. Setelah tamat SMA, Taufiq Ismail mengambil pendidikan perguruan tinggi di Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, sejak 1957 hingga 1963. Taufiq Ismail juga menempuh pendidikan non-gelar, seperti di School of Letters International Writting Program, University of Lowa, tahun 1971-1972 dan tahun 1991-1992. Pada tahun 1993, Taufiq Ismail belajar di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.
Kiprah Karier
Sejak kecil Taufiq Ismail suka membaca dan memiliki cita-cita sebagai sastrawan ketika masih SMA. Sajak pertamanya berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Sampai saat ini, Taufiq Ismail telah menghasilkan puluhan sajak dan puisi serta beberapa karya terjemahan. Karya-karya Taufiq Ismail telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, misalnya Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Prancis.
Sebagai penyair, Taufiq Ismail telah membacakan puisinya diberbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tidak hanya merambah pada dunia sastra, Taufiq Ismail juga mengepakkan sayapnya dalam dunia musik. Sudah ada beberapa lagu yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail.
Penghargaan
Taufiq Ismail merupakan penyair senior Indonesia yang sering mendapatkan penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Taufiq Ismail pernah mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Selain itu, Taufiq Ismail juga sudah dua kali menjadi penyair tamu di Universitas lowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Kemudian pada tahun 2003 Tufiq Ismail mendapatkan penghargaan doktor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta.
Karya Taufiq Ismail
Karya Tulis
- Tirani, penerbit Birpen KAMI Pusat (1996)
- Benteng, Penerbit Litera (1966)
- Buku Tamu Musium Perjuangan, penerbit Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
- Sajak Ladang Jagung, Penerbit Pustaka Jaya (1974)
- Kenalkan, saya Hewan (sajak anak-anak), Penerbit Aries Lima (1976)
- Puisi-puisi Langit, Penerbit Yayasan Ananda (cetakb ulang gabungan) (1993)
- Prahara Budaya (bersama D.S Moeljanto), Penerbit Mizan (1995)
- Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan reproduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-50), Penerbit Yayasan Ananda (1995).
- Seulawah: Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S), penerbit yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
- Malu (Aku) jadi Orang Indonesia, Penerbit Yayasan Ananda (1998)
- Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamis Jabbar. Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), penerbit Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
- Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi, Kitab Cerita Pendek, Kitab Nukilan Novel, dan Kitab Drama.
- "Benteng" (1996)
- "Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini" (1996).
- "Mencari Sebuah Masjid" (Jeddah, 1998)
- "Kembalikan Indonesia Padaku" (Paris, 1971)
- "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia" (1998)
- "Dengan Puisi, Aku..."(1996)
- "Doa" (1966)" Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya" (1966)
- "06.30" (1965)
- Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal" (1966)
- "Malam Sabtu" (1966)
- "Rendez - CVous (1966)
- "Bendera Laskar" (1966)
- "La Strada" , Atau Jalan Terpanggang Ini" (1966)
- "Silhuet" (1965)
- "Bukit Biru, Bukit Kelu" (1965)
- "Persetujuan" (1966)
- "Bagaimana Kalau" (1966)
- "Dari Catatan Seorang Demonstran"
- "Yayasan Ananda, Jakarta," (1993)
- "Refleksi Seorang Pejuang Tua" (1996)
- "Oda Bagi Seorang Sopir Truk" (1966)
- "Takut 66, Takut 98" (1998)
- "Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis" (1998)
- "Ketika Burung Merpati Sore Melayang"
- Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang" (1998)
- "Syair Empat Kartu Di Tangan" (1988)
- "Bayi Lahir Bulan Mei" (1998)
- "Ketika Sebagai Kakek Di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu" (1998)
- "Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang"
- "Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf"
- "Cape Town, 26 April 1993".
- "Adakah Suara Cemara" (1973)
- "Kopi Menyiram Hutan"(1988)
Sejarah sastra Indonesia mencatat Taufiq Ismail sebagai tokoh sastra angkatan 66 yang memiliki pengaruh cukup populer di tengah masyarakat Indonesia. Popularitas ini dicapai Taufiq melalui karya puisi byang dipublikasikan melalui berbagai media massa, baik media cetak dan elektronik, seperti majalah, koran, radio, dan televisi. Selain itu, Taufiq Ismail juga aktif membacakan puisi di berbagai acara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Taufiq Ismail merupakan salah satu penyair yang sering menyuarakan kritik melalui puisi terhadap ketimpangan dalam politik, sosial, dan ekonomi masyarakat Indonesia. Puisi adalah sarana untuk menyampaikan kritik tajam ketika budaya akal sehat dikebiri, ketika korupsi menjadi budaya, ketika kebhinekaan dan pluralitas tidak berdaya, maka daya kreatif diwujudkan dengan karya karyanya. Puisi Tirani dan Benteng merupakan karya yang sarat dengan gugatan dan sekaligus menyodorkan alternatif bersifaf kritis, konseptualis, negatif dan terapis. Dalam puisi ini terdapat konsep penyadaran dan pencerahan yang tersembunyi di balik puisi-puisinya. Alat kohesi yang dominan dalam puisi Taufiq Ismail adalah relasi konjungtif, pengulangan, dan keantoniman. Penggunaan alat-alat kohesi ini bagaimanapun sangat membantu pembaca dalam usaha memahami makna puisi. Alat-alat kohesi ini dapat digunakan sebagai penanda yang dapat ditelusuri implikasi maknanya berdasarkan konteks bahasa yang disusun oleh penutur.
Karya-karya yang dihasilkan Taufiq Ismail tidak hanya berbentuk prosais, tetapi juga berbentuk liris mengekspresikan problematika kehidupan manusia. Tema-tema yang dihasilkan Taufiq Ismail dalam puisinya beragama, yaitu tentang masalah kerinduan, percintaan, moral, sosial, politik, budaya, dan agama. Hal itu, menjadikan puisi puisi-puisi Taufiq menjadi kaya akan tema-tema dari seluruh aspek kehidupan. Buku kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) Karya Taufiq Ismail, merupakan kumpulan puisi yang sarat dengan kritik sosial dalam masalah kehidupan rakyat Indonesia. Nilai-nilai kehidupan sosial yang terdapat dalam buku kumpulan puisi MAJOI tersebut perlu dipelajari oleh siswa dan mahasiswa agar mereka peka dengan permasalahan sosial.
Peran dalam Pengajaran Sastra di Sekolah
Taufiq Ismail adalah pemerhati pengajaran sastra lebih dari 30 tahun. Hal ini menjadi bahan renungan baginya berkaitan dengan keterasingan sastra di sekolah. Penempatan sastra Indonesia yang dilihatnya hanya di trotoar peradaban bangsa, dan masalah petikan karya sastra yang tidak berada di dalam hati dan tidak terucapkan dalam pidato para pemuka negara serta minimnya doktor sastra. Berangkat dari hal tersebut, kemudian Taufiq Ismail membuat identifikasi gejala dan kemungkinan penyebabnya yaitu merosotnya minat masyarakat dalam membaca karya sastra, rendahnya tiras buku sastra, merosotnya mutu karya sastra, sepinya ulasan dan kritik sastra, kurang naiknya jumlah pengulas dan kritikulus sastra, seretnya pertambahan S3 ilmu sastra dibandingkan dengan S3 ilmu eksakta/sains ekonomi /sosial, hanya terdapat satu-satunya masalah bulanan sastra, masih adanya pelarangan karya sastra, lambatnya proses desentralisasi kegiatan sastra, sangat kurangnya diadakan sayembara sastra, kurangnya penghargaan karya sastra dan sastrawannya, kurang dikenalnya sastra Indonesia di luar negeri melalui terjemahan bahasa asing, tidak adanya acara sastra dan pembicaraan buku sastra di televisi, dan merosotnya baca buku sastra dan pelajaran mengarang di sekolah.
Berdasarkan hal tersebut, maka bersama sastrawan lainnya Taufiq Ismail membuat beberapa kegiatan meliputi:
- Sisipan Kakilangit
- Pelatihan MMAS
- Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB0
- Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP)
- Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS)
- Pendirian Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI)
- Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM)
- Penerbitan buku Dari Fansuri ke Handayani (DFH), Horison Sastra Indonesia (HSI), dan Kakilangit Sastra Pelajar (KSP)
Peran dalam Masyarakat
Di bidang organisasi dan kemasyarakatan, Taufiq Ismail sangat aktif dari berbagai kegitan. Ia pernah menjadi Pengurus Perpustakaan sekaligus Sekretaris PIII cabang & Daerah Pekalongan (1954-1956). Taufiq Ismail juga dicatat sebagai salah satu pendiri majalah Horison, yang merupakan satu-satunya majalah sastra Indonesia yang bertahan sampai saat ini. Majalah ini didirikannya bersama Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budimanpada tahun 1966. Jatuh bangun dalam mempertahankan eksistensi majalah sastra horison berssma istrinya selama lebih kurang 50 tahun agar tetap menjadi wadah kreativitas sastrawan dan perkembangan sastra Indonesia.
Selain itu, peran Taufiq Ismail dalam perkembangan sastra di masyarakat adalah berupa pendirian "Rumah Puisi" di Aia Angek Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya. Rumah puisi ini didirikan pada tahun 2008 dalan bentuk perpustakaan dan tempat siswa melakukan apresiasi sastra. "Rumah Puisi" ini merupakan swadaya pribadi Taufiq Ismail dan istrinya.
Pada tahun 1974 Taufiq Ismail terpilih mejadi anggota Dewan Penyantun, Board of Trustess AFS International, New York, bertugas sampai dengan 1976. Sejak tahun 1985 sampai kini (2018) menjadi Ketua Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya. Taufiq Ismail juga telah melakukan perjalanan budaya ke berbagai negara, baik secara organisasi maupun mewakili Indonesia, untuk baca puisi dan festival sastra di 24 kota Asia, Amerika Serikat, Australia, Erops, dan Afrika.
Selain itu, Taufiq Ismail melakukan peran lain dalam bidang sosial budaya, melalui berbagai aktivitas yang mendorong dan mendukung terbentuknya generasi muda bangsa yang lebih baik. Kegiatan tersebut diwujudkan dengan keterlibatannya dalam gerakan anti narkoba. Peranan ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial maupun melalui penciptaan karya-karya puisi yang berkaitan dengannya dan dibacakan di berbagai kota di Indonesia. Melalui gerakan anti-narkoba ini, Taufiq Ismail mendapat penghargaan dari Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 untuk dedikasi dan aktivis antinarkoba.
Karya Populer Taufiq Ismail
Kembalikan Indonesia Padaku
Karya Taufiq Ismail
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
– Paris, 1971 –
Sumber: Anggraini Nori, Peran Taufiq Ismail dalam Perkembangan Sastra di Indonesia, 2019, Jurnal Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 8 No. 1 Januari 2019
.jpeg)

.jpeg)